Pengendalian OPT Ramah Lingkungan |
![]() |
![]() |
![]() |
GAMBAR - JUDUL | |||||||||
Written by ndik | |||||||||
Wednesday, 30 October 2019 23:33 | |||||||||
2019-10-31 / 06:35:35 Petani Cabai dan Bawang Merah di Brebes Saatnya Menerapkan “Pengendalian OPT Ramah Lingkungan” Upaya peningkatan produksi cabai dan bawang merah sering menghadapi kendala berupa terjadinya serangan Organisme Pengganggu Tumbuhan (OPT) berupa hama dan penyakit yang menyebabkan gagal panen atau minimal hasil panen berkurang. Salah satu tindakan pemeliharaan tanaman yang diyakini petani agar terhindar dari kerugian akibat serangan OPT adalah penggunaan pestisida. Keyakinan tersebut cenderung memicu penggunaan pestisida dari waktu ke waktu meningkat dengan pesat. Pestisida telah merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari sistem pertanian di Indonesia, tak terkecuali di Brebes. Pestisida berlebihan menjadi kendala bagi produksi bawang merah di Brebes, sekitar 50 persen lahan tanaman bawang merah %rusak karena terpengaruh penggunaan pestisida yang berlebihan. Akibatnya, tanah lokasi produksi bawang ini menjadi ‘sakit’ dan tak bisa ditanami untuk menghasilkan panen optimal. Frekuensi aplikasi pestisida bisa mencapai 3-5 kali dalam seminggu dengan menggunakan lebih dari dua jenis pestisida, bahkan bisa mencapai tujuh jenis pestisida yang digunakan sekaligus secara dioplos. Pestisida adalah bahan kimia beracun, pemakaian pestisida yang berlebihan dapat menjadi sumber pencemar bagi bahan pangan, air, dan lingkungan hidup. Pada umumnya petani menyemprot tanamannya dengan pestisida secara intensif yang kemungkinan nantinya dapat meninggalkan residu pada produk pertanian. Kecenderungan memilih menggunakan pestisida kimia juga dibenarkan oleh Pak Dasuki petani bawang merah yang bertani bawang merah sejak tahun 2005 dan merupakan Ketua Kelompok Tani Bengkok di Desa Kedung Bokor, Kecamatan Larangan, Brebes. Namun saat ini kesadaran petani yang tergabung dalam KT yang diketuainya sudah mulai menyadari bahwa penggunaan pestisida yang secara masif dapat berdampak pada kesehatan tanah sehingga tidak bisa ditanami untuk menghasilkan panen optimal serta sudah pasti biaya produksi yang dikeluarkan meningkat, ungkapnya saat Nadra (Kasubdit Pengendalian OPT Sayuran dan Tanaman Obat, Direktorat Perlindungan Hortikultura) melakukan pendampingan dan pembina ke KT binaannya. Nadra kembali mengingatkan memang sudah saatnya petani meninggalkan kebiasaan pengendalian OPT secara konvensional yang sudah bertahun-tahun menggunakan pestisida kimia sintetik. Ditambahkan pula oleh Tanti sebagai Kepala Bidang Hortikultura Dinas Pertanian Kabupaten Brebes pada kesempatan yang sama bahwa Perubahan praktek pengendalian OPT secara konvensional ke sistem Pengendalian Hama Terpadu (PHT) perlu dilakukan secara bertahap melalui lahan percontohan budidaya ramah lingkungan yang terintegrasi serta sosialisasi yang intensi. Hal ini memang tidak mudah karena butuh waktu dan proses yang agak panjang. Namun, ikhtiar melakukan budidaya sayuran dengan “Pengendalian OPT Ramah Lingkungan” ini perlu perhatian lebih untuk mengubah tradisi agar tanah di Brebes lebih sehat. Dasuki bersama KT nya sudah mulai membenahi lahannya agar subur kembali, memperbaiki struktur tanah yang %rusak agar bisa ditanami untuk menghasilkan panen yang optimal dengan menambah sebanyak mungkin bahan organik di lahannya. Pada bulan April lalu, di lahannya yang seluas 1.500 meter persegi semula pH tanahnya asam hanya 3,4 , namun saat ini sudah meningkat naik menjadi 6,8 jelasnya. Pengecekan pH tanah dilakukan Dasuki dengan cara yang sederhana berdasarkan pengalamannya, yaitu dengan sebotol air dengan parutan kunyit yang dimasukan tanah yang akan di cek pH nya dengan melihat kekeruhan air tersebut. Peningkatan pH ini dapat terjadi karena adanya penambahan organik dan dolomit, ujar Dasuki. Diakui Dasuki bahwa dengan memanfaatkan bahan pengendali OPT ramah lingkungan yang diperbanyaknya sendiri di lokasi lahan menanam bawang merah dan cabai secara tumpang sari yang diusahakannya, dapat menghasilkan panen sampai 10 ton per hektar, ucapnya. Petani lain, Sunaryo di Kecamatan Ketanggungan saat berada di lahannya seluas 1,5 hektar yang sedang panen cabai rawit sangat merasakan manfaat budidaya ramah lingkungan, dengan mengaplikasikan lebih banyak bahan organik dan bahan pengendali biologi, mulai dari persiapan lahan, pemeliharaan sampai panen. Walaupun musim kering saat ini, panen tetap meningkat dan bisa mencapai 20 ton/hektar, ungkapnya. Dengan harga cabai saat ini berkisar 20 ribu rupiah per kilogram, keuntungan yang diperoleh sudah terbayang cukup besar, ditambah lagi dengan memanfaatkan bahan pengendali OPT yang diperbanyak sendiri, maka biaya untuk mengendalikan hama dapat berkurang, ungkapnya.
Nadra menyarankan agar penggunaan AH semakin dimasyarakatkan dengan membuat demplot-demplot percontohan, sehingga petani dapat langsung melihat dan meniru budidaya tanaman sehat dengan memanfaatkan agens hayati. Disampaikan juga pernyataan Direktur Perlindungan Hortikultura Sri Wijayanti Yusuf, dalam kesempatan terpisah bahwa Kementerian Pertanian sangat mendorong penerapan budidaya hortikultura ramah lingkungan. “Peran LPHP di bawah UPTD Balai ProteksiTanaman Pangan dan Hortikultura yang ada di tiap provinsi sangat penting. Kementan bersama Dinas Pertanian Propinsi terus memberdayakan Laboratorium untuk mengembangkan dan menyebarluaskan agens hayati kepada petani hortikultura”, jelasnya. Dirinya berharap dengan memgembangkan pertanian ramah lingkungan, lingkungan terawat, lahan tetap subur dan produk aman konsumsi dapat diwujudkan, tuturnya.
by ; Nadra
Powered by !JoomlaComment 3.26
3.26 Copyright (C) 2008 Compojoom.com / Copyright (C) 2007 Alain Georgette / Copyright (C) 2006 Frantisek Hliva. All rights reserved."
|
|||||||||
Last Updated ( Wednesday, 30 October 2019 23:49 ) |